Prof. Sardono W.Kusumo
Seniman penata tari dan penari berambut sebahu, lulusan SMA Negeri 4 Surabaya, Sardono Waluyo Kusumo dikukuhkan menjadi Guru Besar Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 14 Januari 2004. Ia seniman pertama dari Asia yang mendapat penghargaan ISPA. Sepanjang karirnya dia telah menghasilkan tak kurang 25 tarian. Sejak usia 23 tahun ia tak pernah berhenti menciptakan karya tari bukan untuk jual beli, tetapi mencari arti bagi nurani manusia. Ia penata tari Indonesia berkaliber internasional.
Pagelaran tari “Nobody’s body” yang merupakan karya teranyarnya tahun 2000 serta peluncuran buku berjudul “Hanuman, Tarzan, dan Homo Erectus” turut menyemarakkan pengukuhan sang profesor yang seluruh hidupnya diabdikan hanya untuk seni tari.
Buku berisi kumpulan tulisan Sardono tentang tari agaknya menjadi salah satu alasan pelengkap penganugerahan jabatan pengajar tertinggi di lingkungan akademis itu. Mengingat, “sang prof” Mas Don –begitu pria kelahiran Surakarta 6 Maret 1945 ini biasa dipanggil— bukanlah jebolan sarjana setingkat S-1. Maklum, kuliah ayah satu anak ini, di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada maupun Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tidak sampai selesai. Kendati demikian gelar itu dijamin tidak palsu sebab sudah ditandatangani langsung oleh Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar pada 31 Mei 2003 lalu berdasarkan SK Bersama Menteri Pendidikan Nasional nomor 9601/A2.7/KP/2003.
Penghargaan seni tari yang pernah diterima Mas Don bukan hanya dari dalam negeri. Mas Don menerima Distinguished Artist Award dari International Society for the Perfoming Arts Foundation (ISPA), pada saat Masyarakat Seni Pertunjukan Internasional menyelenggarakan kongres di Singapura pada 20 Juni 2003 lalu.
ISPA memberi penghargaan untuk dedikasi Mas Don bagi dunia seni pertunjukan, terutama untuk kawasan Asia. Penghargaan sejenis pernah ISPA berikan ke beberapa seniman kaliber dunia seperti Martha Graham, Jerome Robbins, Mikhail Barysnikov, dan Sir Yehudi Menuhin. Dan, Sardono menjadi seniman pertama dari Asia yang mendapat penghargaan ISPA bersama dengan seniman asal Singapura, Ong Keng Sen.
Masyarakat Seni Pertunjukan Internasional atau International Society of Performing Arts (ISPA) yang berpusat di New York, AS dan didirikan tahun 1949, itu adalah sebuah forum terhormat dunia yang bertujuan mempromosikan nilai dan peran penting seni pertunjukan di dalam kehidupan. Organisasi ini beranggotakan sekitar 600 pengelola gedung pertunjukan, pusat kesenian, festival, kelompok seni pertunjukan, dan lembaga kesenian/kebudayaan pemerintah.
Lembaga ISPA ini juga mengenal Mas Don sebagai sosok yang mengangkat kebudayaan Jawa ke dunia internasional, namun uniknya, di sisi lain dia juga sering melawan tradisi Jawa. Dr Kwok Kian Woon, Kepala Practice Performing Arts Centre pada ISPA, menyebutkan banyak seniman Asia yang bagus tetapi Sardono bisa dikatakan sebagai seniman terkemuka yang memberi pengaruh pada perkembangan kesenian tradisional dan modern. Dia memberi warna lain dalam pertunjukan kontemporer, terutama untuk negara-negara Asia Tenggara.
Sementara dari Pemerintah negeri Belanda pada 1998, Mas Don menerima penghargaan berupa Prince Claus Award. Pemerintah Belanda melihat keseriusan Mas Don dalam melakukan riset di bidang seni dan budaya. Pengakuan lain dari dalam negeri dari Pemerintah RI terhadap Mas Don adalah penganugerahan penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari pemerintah Republik Indonesia tahun 2003.
Gelar profesor menjadi bukti tingginya pengakuan semua pihak terhadap hidup berkesenian Mas Don, yang sejak usia 23 sudah menghasilkan tari berjudul Samgita Pancasona yang waktu itu sudah dipentaskan di Jogjakarta, Solo, Jakarta. Tak lama setelah pementasan itu, dengan membawa nama misi kebudayaan ke luar negeri pada tahun 1971 Mas Don dengan bangga mementaskan tari Cak Tarian Rina di Iran dan Jepang.
Sepanjang karirnya dia telah menghasilkan tak kurang 25 tarian. Diantaranya adalah Dongeng dari Dirah, Hutan Plastik, Hutan Merintih, Passage Through the Gong, Opera Diponegoro, Cak Tarian Rina, Awal Metamorfosis, dan Samgita Pancasona. Semua karyanya punya keunikan tersendiri sebab pasti berhubungan dengan kondisi suatu mayarakat pada kurun waktu tertentu yang “dipotretnya” menjadi karya tari.
Dongeng dari Dirah adalah salah satu karya spektakuler Mas Don. Karya ini sempat dibawakan di Prancis, pada tahun 1974 dan mendapat banyak pujian dari kalangan seni tari. Dengan tarian ini pula dia dikritisi sejajar dengan dua maestro seni pertunjukan dunia, yaitu Maurice Bejart dan Robert Wilson. Padahal, usia Mas Don saat berkeliling dunia mementaskan pertunjukan itu baru 29 tahun. Dongeng dari Dirah yang menorehkan nama Mas Don ke dunia seni tari internasional, itu diangkat dari kisah klasik asal Bali, Calon Arang.
Apresiasi dunia luar terhadap Mas Don memang tinggi. Saat melakukan perjalanan karir keliling ke Amerika Serikat tahun 1993, adalah salah satu saat perjalanan karir lainnya yang berkesan. Pentas penampilan berjudul Passage Through the Gong ketika itu disambut hangat publik seni Negara Paman Sam. Road show tersebut digelar di Next Wave Festival Broklyn Academy of Music New York, San Francisco, Los Angeles, dan Burlington. Begitu antusiasnya sambutan warga New York, Mas Don melakukan pergelaran dua kali di ibu kota dunia itu. Dan di tahun yang sama, pentas kedua digelar di BAM Carey Playhouse, New York.
Keuletan Mas Don dalam menciptakan sebuah karya tari tak pernah berhenti. Dia terus menunjukkan kreativitas-kreativitas baru, biasanya setelah sekian lama mendalami kehidupan masyarakat yang ingin “dipotretnya” menjadi tarian. Dia mau masuk ke dalam kehidupan masyarakat tertentu. Seperti, untuk membuat kreasi tari dengan latar belakang masyarakat Dayak, Mas Don harus homestay di tengah hutan belantara Kalimantan bersama komunitas Dayak. Begitu juga saat dia terinspirasi suku Nias di Sumatera Utara.
Pargelaran pertunjukan berjudul Meta Ekologi yang mengetengahkan kepeduliannya terhadap lingkungan, di tahun 1975, terinspirasi setelah dia mendalami kehidupan Dayak dan Nias. Karya Mas Don lain tentang lingkungan adalah Hutan Plastik di tahun 1983 dan Hutan Merintah tahun 1987. Mas Don juga menghasilkan lakon Maha Buta pertanda dia tidak melupakan kehidupan spiritual yang diberikan Sang Khalik.
Di usia paruh bayanya, sejak tiga tahun terakhir Mas Don mulai berperan sebagai guru bagi siapa saja. Baginya, menjadi guru justru “menambah ilmu”, mendapatkan hal baru sebab pengalaman mengajar itu berbeda dengan menari.
Ayah dari Nugrahani, anak buah perkawinanya dengan Amna W.Kusumo ini tidak hanya menggeluti seni koreografi dengan menghasilkan karya-karya koreografi, tapi juga terjun sebagai pengader koreografer-koreografer muda. Hal itu dilakukannya dengan cara terjun sebagai seorang pengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Solo, dan di Institut Kesenian Jakarta.
Dan jika bicara tentang mengajar maka pria berambut sebahu ini pasti akan bersemangat, terutama tentang perannya sebagai guru. Misalnya, Sardono mewajibkan setiap muridnya mempresentasikan karya akhirnya di tempat asal si murid. Dengan begitu Sardono bisa melihat bagaimana si murid “melihat” komunitas asal si murid itu sendiri, misalnya, setelah dua tahun belajar kesenian. Si seniman tak harus terputus interaksinya dengan masyarakatnya sendiri.
“Saya hanya berusaha memperkaya mereka dengan apa yang sebenarnya saya dapatkan, juga dari murid yang lain. Misalnya, saya membawa pengetahuan dari murid di Australia ketika mengajar di Solo, atau sebaliknya, setelah melihat presentasi murid di Padang, saya membawanya ketika mengajar di Singapura,” tuturnya. Ia memang sangat terlibat dengan pasang surut lingkungan masyarakatnya.
Belakangan ini Sardono tak lagi menghabiskan banyak waktunya di Indonesia, tapi sudah lintas negara Asia Tenggara. Dia mengaku masih pergi ke Padang, Bandung, atau Jakarta, di mana muridnya menggelar presentasi. Selain itu, ia juga pergi ke Hanoi, Kamboja, Singapura, dan lainnya. Lingkup penggaliannya tak lagi terbatas pada tradisi di Indonesia, tetapi mencakup Asia, terutama Asia Tenggara.
Staf pengajar IKJ ini sejak awal sudah mencoba berusaha memajukan kesenian di Indonesia dengan ikut terlibat mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, yang merupakan cikal bakal Institut Kesenian Jakarta, pada 1970. Sekolah seni yang didirikannya dimaksudkannya untuk mendidik para seniman supaya menjadi orang besar. Dia lalu menggalakkan berbagai workshop dengan seniman tari dari luar negeri. Misalnya dengan Peter Brooks di Ecole Superieure de Choreographie di Prancis. Lantas, melakukan workshop di Denmark bersama dengan Odin Teatret dan Theatre du Soleil Prancis.
Dalam setiap mengajar Mas Don berusaha untuk tampil sekomprehensif mungkin, misalnya dengan menyisipkan elemen-elemen seni lain seperti senirupa, film, dan musik. Mas Don yang juga staf pengajar Program Pasca Sarjana STSI Solo ini beralasan, semua unsur seni itu saling terkait. Mendalami seni tari harus pula bisa melakukan seni peran di atas panggung, harus bisa melihat visualisasi dari sisi penonton dan bukan hanya dirinya sendiri.
2.OKOH TARI SUNDA
Lampiran. 1: Biodata Tokoh Tari Sunda1. R. YUYUN KUSUMADINATA
Tempat/tanggal lahir: Bandung, 5 Juli 1935, Alamat: Jl. Dulatip No. 60 Bandung.
Pengalaman belajar menari, antara lain: Tahun 1943 berguru pada Rd. Dadan
Kusumadinata (Ayahnya); Tahun 1948 berguru pada R. Tjetje Somantri; Tahun 1960
berguru pada Mama Resna. Materi tari yang dipelajari adalah tari Wayang, tari Keurseus,
tari karya R. Tjetje Somantri, dan Pencak Silat.
Kekaryaan, antara lain tari: Mojang Tani, Tenun (1960), Panca Sari (1970), Gandrung
Arum (1970), Indang Sunalagena (1980), Perwira Santika (1980).
Piagam Penghargaan, antara lain: dari Gubernur Propinsi Jawa Barat (1975), Dubes
Washington D.C (1969), Workshop Sundanese Dance Style in USA & Canada, Layang
Salaka Domas Bandung (2001), dan dari STSI Bandung.
2. R. ENOCH ATMADIBRATA
Tempat/tanggal lahir: Bandung, 9 Nopember 1927, Alamat: Gang Dukuh No 80 Komplek
Melong Raya Cijerah Bandung, Pendidikan: Alumni Institute of Ethnomusicology
Universitas California .. Los Angeles (UCLA).
Pengalaman belajar menari, antara lain: Tahun 1943 belajar tari Keurseus dari Rd.
Ganjar; Tahun 1949 belajar dari R. Tjetje Somantri; Tahun 1948-1951 belajar tari
Keurseus dari R. Joesoef Tedjasukmana dan Tahun 1950, belajar dari Sari Redman.
Kekaryaan, antara lain tari: Lenyepan Putri (1953), Hujan Munggaran (1955),
Cendrawasih, dan Katumbiri (1957).
Pengalaman berkesenian, antara lain: Mengajar tari Sunda dilingkungan pendidikan
formal dan non formal baik di dalam maupun di luar negeri; Lawatan misi kesenian
khususnya seni Sunda ke beberapa negara di luar negeri; Membuat karya tulis, penelitian,
pendokumentasian kesenian, dan menerbitkan buku-buku kesenian Sunda dalam bahasa
Sunda, Indonesia, dan Inggris.
Piagam Penghargaan, antara lain: dari Gubernur Propinsi Jawa Barat (1985), dan Satya
Lencana 2003 dari Presiden RI.
TOKOH TARI SUNDA
STANDAR KOMPETENSI NASIONAL BIDANG KEAHLIAN TARI SUNDA 2
3. SUJANA ARJA
Tempat/tanggal lahir: Cirebon, 1942, Alamat: Desa Slangit Kecamatan Klangenan
Cirebon
Pengalaman belajar menari, antara lain: Tahun 1952 mulai belajar menari topeng dari
Ki Arja (Ayahnya).
Piagam Penghargaan, antara lain: Sebagai Penari Topeng Cirebon dari Pemda
Kabupaten Cirebon (1967), keikutsertaan pesta seni tradisional antar bangsa (1978),
Pekan Tari Daerah dari Direktorat Pembinaan Kesenian (1978), Direktorat Kesenian
Peserta Pekan Dramatari dan Teater Daerah Tingkat Nasional (1984), With Thank to Our
Indonesia Teacher and Friend For Sharing The Richard of West Java with As. The UCSC
Music and Theatre art Wayang Gamelan Jakarta (1988), Certificate of Apreciation,
Festival of Indonesia (1990-1991), Panitia Pameran Kebudayaan di Amerika Serikat
1990-1991 (KIAS), STSI Bandung (1996), Pusat Kesenian Jakarta TIM (1993), Direktorat
Nilai Estetika Depdiknas (2000), dan Anugrah Seni dari Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata RI (2002)
4. DRS. H. GUGUM GUMBIRA TIRASONJAYA
Tempat/tanggal lahir: Bandung, 4 April 1945, Alamat: Jl. Kopo No. 15 Bandung
Pengalaman belajar menari, antara lain: Belajar Pencak Silat dan Ketuk Tilu dari bapak
Miharta (ayahnya) dan Ketuk Tilu modern dari Saleh Natasanjaya di Bandung, kemudian
belajar Ketuk Tilu dari Bacih Citarip Bandung, dari Sanudi Lembang-Bandung, Lurah
Dana dari Lembang-Bandung, Djulaeha Situ Aksan-Bandung, dan Nandang Barmaya di
Bandung. Selanjutnya belajar tari Ketuk Tilu gaya kaleran pada Pendul dari perkumpulan
Topeng Banjet Pusaka Lemah Dawur Kabupaten Karawang, Atut di Karawang, dan
Epeng di Kabupaten Karawang. Sedangkan belajar tari Bajidor dan Kliningan diperoleh
dari Askin di Karawang. Di samping belajar tari KetukTilu, Pencak Silat, dan Bajidoran
juga belajar tari Wayang yang diperoleh dari Drs. Syarip Musa di Cigelereng-Bandung
dan tari Tayub dari Wigandi-Bandung, dan Ono Lesmana di Sumedang.
Kekaryaan, antara lain tari: Gaplek (1978), Kangsreng, Keser Bojong, Rendeng Bojong,
Pencug Bojong, Toka-toka, Kuntul Manggut, Setrasari (1982), Sonteng (1983), Ringkang
Gumiwang (1985), Rawayan (1987), Kawung Anten (1992)TOKOH TARI SUNDA
STANDAR KOMPETENSI NASIONAL BIDANG KEAHLIAN TARI SUNDA 3
Piagam Penghargaan, antara lain: Festival Tari Rakyat se-Asia di Hongkong (1978),
Misi kesenian Bandung-Braunnscweig (1983), Festival Film Asia di Bandung (1986),
Hari Ulang Tahun Republik Indonesia di Bangkok (1986), Misi Kesenian ke Jepang
(1988), HUT Yayasan Gotong Royong dan HUT Ibu Tien Soeharto,Seminar Kesehatan
WIC (1988), Menyambut tamu negara Sultan Brunei Darusalam (1989), Opening
ceremonial ATF di Bangkok (1990), Festival Kesenian Indonesia-Amerika (KIAS)
(1990), Kirab Remaja Nasional I Tari Masal di Jakarta (1990), Misi Kesenian ke Eropa
(1991), Misi Kesenian ke Malaysia (1992), Kirab Remaja Nasional II di Jakarta (1993)
dan III (1995), Misi Kesenian ke Singapura (1994), Misi Kesenian ke Korea Selatan
(1996), Misi Kesenian ke Laos (1996), dan Misi Kesenian ke Jepang (1997).
5. T. WAHYUDIN
Tempat/Tanggal Lahir: Sumedang, 1 Mei 1933, Alamat: Kecamatan Situraja Sumedang
Pengalaman Belajar Menari, antara lain: Tahun 1942 belajar tari Keurseus dari Winata
Raksapraja (Ayahnya), Tahun 1951 belajar Tari Keurseus dan Wayang wong dari
R. Sadeli Hardjadinata, Tahun 1952 belajar tari Keurseus dan Tari Wayang dari R.Ono
Lesmana Kartadikusumah.
Piagam Pengahargaan, antara lain: Juara lomba Tari Keurseus (Gawil) se-Jawa Barat
(1974), juara Festival tari Keurseus (Lenyepan) se-Jawa Barat (1980), dan dari Bupati
Sumedang sebagai Tokoh Tari (1999).
6. JAHIM JUARSA
Tempat/Tanggal Lahir: Subang, 1925, Alamat: Kampung Palabuan Kel. Sukamelang
kec./kab. Subang.
Pengalaman Belajar Menari, antara lain: Tahun 1945 belajar tari dan gamelan Ketuk
Tilu kepada Imik Emen (Cikampek, Kabupaten Karawang), Tahun 1950 belajar kendang
Doger kepada Naong (Koranji, Purwadadi-Kabupaten Subang).
Kekaryaan, antara lain: Tari Babadayaan, Tari Doger, Tari Gondang, Tari Kangsreng,Tari Awi Ngarambat, dan Tari Buah Kawung.
Piagam Penghargaan, antara lain: dari Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung
(1994), Bupati Subang (1994), SMKI Bandung (1996).
TOKOH TARI SUNDA
STANDAR KOMPETENSI NASIONAL BIDANG KEAHLIAN TARI SUNDA 4
7. TJETJEP SULASWARA
Tempat/Tanggal Lahir: Ujung Berung, 1 Januari 1948, Alamat: Jl. Nagrog II Ujung
Berung Kota Bandung.
Pengalaman Belajar Menari, antara lain: Belajar Tari Ketuk Tilu dari Yoyo Yohana
(ayahnya), Rd. Padmadipura dan Sanudi di Bandung.
Kekaryaan : Tari Cikeruhan
Piagam Penghargaan, antara lain: Dari Gubernur Propinsi Jawa Barat (1980), dan dari
Depdikbud (1980).
8. RISYANI, SST
Tempat/Tanggal Lahir: Bandung, 24 Desember 1949, Alamat: Jl. Tirta Wening No. 158
Bandung Telp. 7800778.
Pengalaman Belajar Menari, antara lain: Tari Topeng Klana (1962), Topeng
Tumenggung (1968), Topeng Klana (1973), Topeng Kencana Wungu dan Topeng Tiga
Watak (1974) dari R. Nugraha Soediredja
Kekaryaan, antara lain: garapan Dramatari Topeng bersama Enoch Atmadibrata (1968-
1985).
Karya Tulis, antara lain: Proses Kreatif Nugraha Soediredja Dalam Penataan Tari
Topeng Priangan (1998), Estetika Tari Sunda (2000), R. Nugraha Soediredja (2001),
Bodar Dalam Pertunukan Topeng Cirebon Dewasa Ini (2002), Panakawan Dalam
Topeng Cirebon Sebagai Ekspresi Khas Pemeran Rakyat Teater Tradisi Jawa Barat
(2003)
Piagam Penghargaan, antara lain: dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kota
Bandung sebagai Penari (1962-1966), dan Juara I Tari Topeng Klana (1966).